Nasi Padang Lebih Banyak Kalau Dibungkus?

Hari sudah menunjukkan pukul tiga dini hari ketika saya dibangunkan teman untuk sahur. Kami sudah menjalani beberapa hari Ramadhan, dan bingung mau makan apa.

“Pengen nasi padang ah,” ujar teman saya.

“Ayam bakar?” tanya saya.

“Iya. Yuk. Tapi dibungkus aja, biar lebih banyak. Dan lo aja yang beli ya,” kata dia lagi.

“Kok?”

“Kalo lo yang beli harganya lebih murah,” Saya meringis mendengarnya. Mentang-mentang saya dan si penjual sekampung. Semena-mena betul kawan saya ini.

Saya tidak pernah memperhatikan dua situasi ini sebelumnya dalam hidup saya. Karena, saya jarang sekali mengonsumsi masakan Padang (begitu sebutannya di tanah Jawa) selama di rantau. Heei, 18 tahun makan masakan Padang apa tidak bosan?

Etimologinya saja sudah salah. Masakan Padang. Padahal tidak hanya Kota Padang saja yang masakannya berbumbu. Harusnya masakan ini disebut Masakan Sumatra Barat. Atau kalau mau lebih rasis lagi, Masakan Minangkabau.

Pagaruyung_palace

Tapi ya sudahlah, itu beda cerita.

Sejak percakapan itu, saya mulai melakukan riset di beberapa restoran yang menyajikan masakan Minang. Lama-lama saya ngeh juga. Memang betul, kalau dibungkus porsinya lebih besar dibandingkan makan di tempat. Sedangkan untuk harga, saya masih gagal merisetnya lantaran beda lauk beda harga, kan?

Maka bertanyalah saya kepada penjual masakan Minang, mengapa kalau dibungkus porsinya bisa lebih banyak. Nihil. Tidak ada yang bisa menjawab.

Lalu saya menemukan jawabannya di sebuah tulisan. Tapi saya tidak yakin dengan kebenarannya. Porsi yang lebih besar ini ada hubungannya dengan penamaan rumah makan di Sumatra Barat. Bagi yang pernah ke negeri pemilik Bukit Barisan ini, pasti sering melihat warung nasi di pinggir jalan selalu menyematkan kata ‘ampera’ di depan nama restorannya. RM Ampera Umbuik Mudo, RM Ampera Ajo atau sejenis. Oh iya, jangan harap menemukan tulisan ‘Masakan Padang’ di restoran-restoran di Sumatra Barat.

foto oleh @openrice.com
foto oleh @openrice.com

Ampera ini adalah singkatan dari amanat penderitaan rakyat (kayak bukunya Bung Karno). Jadi, pada masa lalu restoran adalah tempat yang sangat mahal. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa makan enak di restoran dan menikmati masakan-masakan yang sekarang ini kalian lihat di display restoran Minang. Orang-orang tertentu ini means orang Belanda dan saudagar dan orang kaya lainnya.

Ciri khas restoran Minang adalah memamerkan segala jenis masakan di jendela depan. Macan di Kebun Binatang Surabaya pun akan ngiler melihat pameran tersebut. Begitu pula dengan rakyat jelata (baca: native Minang) yang kala itu adalah masyarakat menengah ke bawah.

Pemilik restoran merasa iba. Padahal, masakan yang disediakan itu adalah khas milik masyarakat Minang. Mereka toh juga berhak untuk menikmati. Apalagi, mereka ini bekerja dari pagi sampai malam. Tentulah perlu tenaga yang diperoleh dari karbohidrat dan protein.

restoran-padang

Maka, pemilik restoran yang juga orang Minang mulai menjual diam-diam kepada masyarakat Minang yang bekerja sebagai buruh. Mereka memberi porsi lebih pada pekerja-pekerja itu sebagai ‘imbalan’ dan memberikan harga lebih mahal pada saudagar dan kompeni yang makan di restoran mereka sebagai ‘ganjaran’.

Sampai hari ini, tradisi itu bertahan. Tapi seperti yang sudah saya katakan, tidak ada referensi sahih yang bisa membuktikan kebenaran cerita ini. Mungkin saja porsi dibungkus lebih banyak sebagai ucapan terima kasih pada pelanggan karena pemilik restoran tidak perlu mencuci piring. Atau memang porsi nasi dibungkus di restoran Minang itu adalah nasi plus nasi tambahan (kalau makan di tempat suka dikasih nasi tambahan yang porsinya lebih kecil). Siapa tahu?

n c02

One thought on “Nasi Padang Lebih Banyak Kalau Dibungkus?

Leave a reply to deffautama Cancel reply