Awas, Virus Indoenglish!

“Anti, kok gak ngucapin ulang tahun sih? Ade kan hari ini ulang tahun, tauuk!” begitu kira-kira protes keras yang dilayangkan keponakan kepada saya, beberapa waktu lalu. Saya ingat hari itu adalah hari ulang tahunnya, tapi kebiasaan saya adalah mengucapkan ulang tahun kepada seseorang ketika hari ulang tahunnya hampir berakhir. Tadinya ingin membuat kejutan pura-pura lupa, berakhir karena protesnya.

Tapi bukan protes keras keponakan ini yang ingin saya bahas sekarang. Tapi panggilan keponakan kepada saya. Dia memanggil saya dengan sebutan ‘anti’ atau tulisan normalnya ‘aunty’.

Sebagai orang yang seharusnya patuh dengan adat Minangkabau, seharusnya saya dipanggil olehnya dengan sebutan ‘etek’ atau tante karena saya lebih muda dari ibunya. Tapi di era modern seperti ini, apalagi dengan gempuran budaya yang sangat keras di Jakarta, membuat seseorang sulit untuk mempertahankan budaya aslinya.

Nah, sekarang budaya yang tengah //in// di Jakarta adalah budaya Indoenglish, yaitu menggunakan Bahasa Indonesia yang bercampur dengan Bahasa Inggris. Seperti yang sering diucapkan oleh teman saya ketika dia merasa tidak bergairah, “Aduh, aku lagi gak //mood// nih ngerjain tugas,”

Atau ketika seorang koki di sebuah stasiun tevelisi swasta sedang memperagakan sebuah resep masakan sambil berkata, “Dan kita potong-potong garlic-nya,” kata dia. Dia lebih memilih memakai kata //garlic// daripada bawang putih.

Bahkan yang gemar menggunakan Bahasa Indoenglish ini tidak hanya orang biasa. Bapak Presiden pun sering menyelipkan istilah-istilah asing dalam pidatonya. “Sebagai bentuk terima kasih kepada para //founding fathers// dan para pemimpin terdahulu,” Ini dikutip dari pidato kenegaraan menyambut hari ulang tahun RI ke-67.

Presiden lebih memilih menggunakan //founding fathers// daripada bapak pendiri bangsa. Padahal rasanya lebih bangga bila menggunakan Bahasa Indonesia daripada bahasa asing yang bahkan tidak semua masyarakat Indonesia mengetahuinya.

Presiden tidak kali itu saja menyelipkan bahasa asing dalam pidatonya. Beberapa kali beliau juga menggunakan istilah Bahasa Inggris dalam pidatonya, apapun isinya.

Entah karena ingin dibilang sebagai presiden yang ‘modern’ atau //up to date//, Bapak Presiden yang terhormat sering menggunakan istilah-itilah berbahasa asing tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan Pasal 28 undang-undang no.24 tahun 2009.

Isi pasal tersebut kira-kira, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.”

Nah, di atas ada tulisan khusus yang mencatut presiden wajib berbahasa Indonesia dalam setiap pidatonya. Toh sekarang sudah ada alat canggih yang bisa dipakai oleh orang asing untuk men-translate Bahasa Indonesia ke bahasa ibunya, kan?

Ini lagi-lagi kembali ke nasionalisme. Bung Hatta dalam pidatonya ketika menerima kedaulatan Indonesia dari Belanda berpidato dalam Bahasa Indonesia. Dengan bangga dirinya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pidato, menunjukkan kalau dirinya adalah orang Indonesia yang memperjuangkan bangsanya.

Kini? Bahasa Indonesia seolah menjadi sesuatu yang dianggap second languange di Indonesia. Ketika saya lulus sekolah menengah atas, saya mendapati kebanyakan teman saya tidak lulus akibat nilai Bahasa Indonesianya tidak sesuai syarat lulus. Akan tetapi nilai Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Ini tidak terjadi di tahun saya lulus saja, tetapi juga di tahun-tahun berikutnya. Ini mengakibatkan lama-kelamaan anak Indonesia tidak akan bisa berbahasa dengan baik.

Kenyataan pahit tidak hanya saya temukan di ujian kelulusan. Saat ini di sekolah-sekolah usia dini pun sudah diajarkan Bahasa Inggris. Ketika awal mereka bisa membaca mereka lebih banyak mengenal kata-kata dalam bahasa asing. Bahkan ketika seorang anak bertanya arti satu kata Bahasa Indonesia sang ibu tidak bisa menjawab apa artinya, atau perlu berpikir lebih lama to find the answer.

Bagaimana nasib Indonesia ke depan? Bukankan ada pepatah yang mengatakan Bahasa menunjukkan bangsa? Bagaimana nasib bangsa ini kalau anak bangsanya sendiri tidak bisa berbahasa mereka dengan benar?

Kalau seperti ini terus caranya, dalam 5-10 tahun ke depan Indonesia akan kehilangan banyak vocabulary bahasanya, berganti menjadi Bahasa Inggris. Dan kalau sudah seperti ini, bahasa daerah atau bahasa ibu akan menghilang selamanya dari muka bumi ini. Keragaman Indonesia hanya akan menjadi keragaman budaya yang tersimpan di dalam museum saja. As new generation, what wil you do? Just sit down and see your country sink slowly??

n c02

3 thoughts on “Awas, Virus Indoenglish!

  1. Well, this post was long time ago but why the heck I feel like I have to spill my thought out just to ease myself. First, I like the writing. I really do. It’s orderly arranged, the transition, your words selection, etc, to me they are perfect. Wish I could give it a like. Because some blogs wouldn’t care about their writings which make people like me would leave the blog without even thinking twice. Though their stuff might be interesting. Also, I do appreciate your thought to persuade others to pay more attention to our Bahasa. However, as my last point, you don’t put your fear on the right place sweetheart, I am so sorry. Thx, keep rockin’!

Leave a reply to Bahasa Bakal Jadi Sejarah? | Eine kleine Ente Cancel reply