Si Bayi Terlilit Tali Pusar (3-Habis)

Saya masih tenang-tenang saja saat air ketuban pecah dan membanjiri kamar mandi. Saat memberi tahu keluarga, semua langsung panik dan membawa saya ke bidan tempat saya kontrol tadi.

“Diantar pakai motor saja biar cepat,” ujar pakde suami yang kebetulan sedang berada di rumah mertua.

“Jalan kaki saja deh,” kata saya yang sudah setengah basah oleh air ketuban. Selain terlalu ribet, diantar menggunakan sepeda motor membuat saya merasa tak nyaman karena mulesnya sudah makin tak tertahankan.

Saya berjalan menuju bidan dengan ibu mertua memimpin paling depan. Di belakang, menyusul mama, pakde dan bude. Kami berjalan macam rombongan yang mau nonton dangdut. HEBOOOH. Setiap ada tetangga yang bertanya, pasti selalu dijawab, “Ini mau lahiran, ketubannya udah pecah,”

Aduh, saya kan malu kalau tetangga dikasih tahu begitu, berasa artis.

Sesampainya di rumah bidan, saya langsung diboyong ke ruang bersalin. Ruangannya kecil, lebih kecil dari kamar tidur di rumah. Di ruangan itu hanya ada satu tempat tidur yang beralas seprei plastik. Bagian tengah tempat tidurnya ada bolongan entah buat apa. Tak jauh dari tempat tidur ada lemari tempat penyimpan alat medis seperti jarum suntik, benang, dan lain-lain. Di sisi kanan tempat tidur terdapat wastafel dan tempat ganti bayi.

Saya diminta berbaring di tempat tidur dan menanggalkan celana supaya bidan dapat mengecek perkembangan pembukaan. “Sudah pembukaan tujuh, sebentar lagi,” kata bubidan.

Saya disuruh berbaring miring kiri supaya oksigen ke si bayi tidak terganggu. Selain itu, berbaring miring kiri juga akan mempercepat pembukaan.

Nah, saat tidur miring kiri itu, kontraksi yang saya rasakan makin menjadi-jadi, mulesnya ampun bikin pinggang saya rasanya mau copot. Sekali kontraksi masih mampu saya tahan, tapi saat kontraksi berikutnya, saya berharap perut saya dibelah saja supaya sakitnya hilang sekalian. Dan perasaan ingin mengejan pun muncul tidak dapat ditahan.

“Bu, udah boleh ngeden belom?” tanya saya sambil menggigil menahan sakit.

“Tahan sebentar, ya,” ujar bu bidan selow. Dengan lembut, bu bidan mengelus-elus punggung saya, memberikan saya sedikit rasa tenang. Selain itu, bu bidan juga dengan suara yang adem namun lantang melantunkan zikir “La hawla wala quwwata illa billah”.

Tapiiii, keinginan mengejan itu muncul dan terus muncul tanpa bisa saya tahan. Saya setengah memohon kepada bu bidan untuk diperbolehkan mengejan. “Udah gak kuat, bu,” kata saya sambil berurai air mata. Hahaha, lebay. Bodoamat.

“Ya sudah, kita coba belajar ngeden dulu ya,” kata bu bidan lagi. Ia memberi tahu saya apa yang harus saya lakukan dan –terima kasih kelas senam hamil– saya berhasi mengejan pada percobaan pertama.

Bu bidan mengecek jalan lahir saya. Katanya, sebagian masih kaku sehingga saya belum boleh mengejan. Akhirnya karena tidak tahan, bu bidan menyuntikkan sesuatu di paha yang membuat keinginan mengejan semakin besar. Belakangan, saya baru tahu kalau itu adalah suntikan induksi.

“Siapa nih yang mau nemenin di dalam?” tanya bu bidan ke arah pintu, tempat semua kerabat menanti. “Suaminya mana?”

“Lagi di jalan, bu,” kata entah siapa di luar.

“Terus siapa yang nemenin di sini?” tanya bu bidan.

“Mama, mama,” kata saya sambil terengah-engah menahan keinginan untuk ngeden.

“Mamanya katanya,” lanjut bu bidan.

Mama saya pun masuk ke ruang persalinan, membantu mengangkat badan saya supaya lebih mudah mengejan. Setelah melahirkan, berulah saya mengetahui kalau emak-emak yang mengantar itu rebutan MENOLAK menemani saya di dalam. Takut, katanya, tidak tega.

HADEEEEEEEH. Padahal kan mereka sudah berpengalaman berkali-kali melahirkan.

Melahirkan sama seperti saat kita berjuang BAB di kala sembelit. Susaaahnya minta ampun. Dan sangat melelahkan. Entah berapa kali saya berusaha mengejan tapi si kepala bayi tak juga muncul. Sampai harus berkali-kali break (macam iklan) untuk mengatur napas dan memulihkan tenaga.

Mengejan yang baik adalah membuka mata, napas pendek-pendek seperti orang kepedesan, dan TIDAK BERTERIAK seperti yang di film-film. Tapi karena sudah kadung kesakitan dan capek, saya malah teriak-teriak saat mengejan. Biar kerasa petualangannya gitu lohh. Untung bidannya sabar dan membiarkan saya berekspresi semaunya. Saya bahkan beberapa kali tanpa sengaja menendang perut bu bidan. Hahaha.

Bu bidan terus mengarahkan saya supaya mengejan saat terasa kontraksi. Setelah puluhan kali ngeden, saya kemudian merasa kesal karena si bayi tak kunjung keluar. Jangankan keluar, ujung rambutnya saja tak jua nampak.

“Anak bayi, kamu kok enggak mau keluar sik. Udah gak kuat,” batin saya. Bagian ‘udah gak kuat’ saya ucapkan keras-keras.

“Istirahat dulu kalau capek,” ujar bu bidan. Begitu terus selama 10 menit pertama proses kelahiran.

“Kok gak keluar-keluar sih, bu,” kata saya setengah sebal saat disuruh beristirahat, minum teh hangat buatan suster.

“Yaa, namanya juga gadis baru pertama melahirkan,” kata bu bidan. “Anaknya lagi buka jalan,”

Memangnya hutan apa, buka jalan.

Saat kepalanya sudah tampak, dengan santainya bubidan bilang, “Waah, bayinya agak besar nih. Ayo, sedikit lagi,” Sekali lagi, bubidan melakukan induksi.

Sedikit lagi, tapi si bayi tidak juga keluar, seolah-olah dia ogah banget keluar dari zona nyamannya di dalam rahim saya. Padahal, saya sudah nyaris kehabisan tenaga hanya untuk ngeden berkali-kali. Saya pun kesal dengan bacaan-bacaan tentang pengalaman melahirkan orang lain yang anaknya langsung keluar cuma dengan tiga empat kali ngeden.

Akhirnya setelah berkali-kali ngeden, saya merasakan sesuatu nyangkut di jalan lahir. Bu bidan bilang setengah kepalanya sudah keluar. Saya disuruh ngeden yang kuat, menyambung ngeden tidak berjeda.

“Ayo, ngeden lagi, bayinya nyangkut nih di hidung. Kalau kelamaan nanti dia gak bisa napas,” kata bubidan. “Mules gak mules pokoknya ngeden,” perintah bubidan.

Duh, nak, kok pake acara nyangkut segala sih. Ibu lelaaaaaaaaaahhhhh.

Awalnya sempat muncul kekesalan dalam diri saya pada si bayi dan diri sendiri yang begitu payah dalam hal per-ngeden-an ini. Tapi kemudian, saya menyadari kalau si bayi sama pasti juga tengah berjuang untuk keluar, tidak hanya saya. Saya kemudian membayangkan betapa tersiksanya dia saat hidungnya mampet tak mampu bernapas.

Tiba-tiba saja, semangat dan tenaga saya muncul kembali seperti baru ganti oli dan isi bensin. Saya mengejan sekuat tenaga dan hanya beberapa kali mengejan, kepala si bayi akhirnya keluar.

“Wah, pantesan susah keluarnya, kelilit tali pusar, dua lilitan lagi,” ujar bubidan sambil melepas lilitan pada si bayi. Setelah itu, bu bidan menarik si bayi keluar yang saya merasa seperti ada agar-agar yang ditarik dari dalam perut saya. Tak lama setelah itu, jeritan bayi pun terdengar di telinga.

Setelah itu? Rasanya LEGAAAA sekali. Saya tidak perlu ngeden lagi, tidak perlu angkat-angkat kaki dan badan dan napas pendek-pendek. Saya bisa ISTIRAHAT.

Dan tak lama setelah si bayi menangis, suami saya pun datang -____________________-.

“Lengkap kan mas?” tanya saya yang dibalas anggukan suami. Syukurlah, lengkap kaki tangan jemarinya. Semua indera insya Allah lengkap. Cakepnya adalah bonus (mengingat ayah dan ibunya enggak cakep-cakep amat).

Sembari si bayi dibersihkan tadi, bu bidan melanjutkan proses mengeluarkan ari-ari. Dengan lembut, bubidan memijit perut saya dan meminta saya sedikit mengejan. Tak selama proses melahirkan, ari-ari pun keluar dengan mudah. Saya tak sempat melihat bagaimana bentuknya karena segera diamankan oleh suster. Padahal penasaran….

Kemudian, bagian paling sakit pun dimulai.

Proses penjahitan perineum (bagian kulit di antara vagina dan anus) yang robek akibat proses kelahiran ternyata lebih nyesss. Bu bidan bilang penjahitannya tidak boleh pakai bius karena akan memperlama proses kesembuhannya nanti. Dan rasanya sedikit sakit karena jalan lahir saya bengkak (akibat mengejan saat tidak terasa kontraksi).

Tapi ternyata rasanya tidak sedikit sakit tapi SAKIT BANGETTT, lebih menyakitkan dari proses melahirkan itu sendiri. Sepuluh menit proses penjahitan itu serasa sejam. Berusaha membayangkan wajah anak bayi yang baru lahir pun tak membantu mengalihkan pikiran saya dari jarum dan benang yang sedang bekerja di salah satu bagian terpenting dalam tubuh saya. Berkali-kali saya bertanya, “Udah belum bu, sakiiiiiiit,” kata saya.

Saat proses penjahitan ini, suami menemani, berusaha melucu dan mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit. Tapi saya rasa dia mencoba melucu untuk mengalihkan PERHATIAN DIA SENDIRI dari proses itu (HEHEHE).

Setelah penjahitan selesai, saya diminta tetap berbaring selama dua jam. Saat itulah si bayi akhirnya dibawa ke saya untuk inisiasi menyusui dini, padahal saya berharap langsung setelah melahirkan bisa IMD.

Saat pertama kali melihatnya, “BAYINYA CAKEP BANGEEET,” respons saya secara spontan. Suami yang mendengar itu langsung tertawa ngakak. Saya menangis (lagi) saat itu setelah melihat si bayi.

Anak bayi tidak perlu lama belajar mencari puting dan menyusu. Rasanya geli-geli gimanaaa gitu (tapi menyusu selanjutnya adalah DRAMA).

Suami diminta untuk mengazankan anak bayi dan segera mengubur ari-ari. Sementara, saya diminta beristirahat. Setelah semua proses itu, barulah saya merasakan BAHAGIA. Akhirnya, segala penantian dan kesakitan selama kehamilan itu terbayar dengan bayi laki-laki yang lucu dan menggemaskan (ahahaha). Dan yang terpenting, tidak kekurangan suatu apapun.

Anak bayi lahir dengan berat 3,4 kilogram dan panjang 50 sentimeter. Saya bersyukur Tuhan memudahkan proses kelahirannya. Mohon doanya agar si bayi, yang kami beri nama Angger, menjadi anak soleh, cerdas, dan generasi yang bermanfaat bagi negerinya.

Satu lagi bayi milenial lahir ke dunia yang kian dewasa. n c02

Leave a comment